AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER INSPIRASI FILSAFAT
DAKWAH
Al-Qur’an
sebagai sumber utama ajaran Islam tersusun sedemikian rupa, menjadi petunjuk
dalam menjalani rentang waktu kehidupannya. Kandungan Al-Qur’an tidak terbatas
pada ajaran nilai, hukum, sejarah dan berbagai ilmu pengetahuan saja, tapi juga
mengandung unsur metodologi berbagai ilmu pengetahuan, bahkan susunan kata,
kata yang terpilih dalam bahasa arab, susunan kalimat, hubungan masalah yang
dibicarakan, semuat syarat dengan informasi, ilmu dan metodologi.
Al-Qur’an adalah kitab dakwah[1]
yang mencakup didalamnya unsur-unsur yang mengintari dakwah, sasaran dakwah dan
media dakwah. Dakwah dengan segala urusannya adalah suatu kesatuan yang tak
terpisahkan satu sama lain, masing-masing unsur dalam dakwah mendapat perhatian
dan sorotan dalam al-Qur’an secara sistematis dan sesuai dengan kondisi sosial
masyarakat yang mengintarinya. Paparan dan petunjuk al-Qur’an tentang kegiatan
dakwah tersebut telah dilaksanakan dan dipraktekan oleh Rasulullah Saw.
Al-Qur’an dari muatan metodologi telah
banyak ditulis di berbagai buku, majalah, Koran dan berbagai seminar secara
internasional. Telah banyak pakar dan ilmuan muslim, setelah penelitian yang
mendalam, menyusun buku dalam masalah ini, seperti Amin Abd Aziz dengan bukunya
Manhaj Al-Qur’an fi ‘Ardh ‘Aqidah Al-Qur’an al-Islam (1992).
Mendakwahkan Al-Qur’an adalah selain tugas Rasulullah, yang kemudian diwariskan
kepada para ulama sebagai generasi sesudahnya, juga tidak lepas dari sistem dan
metologi.
Dakwah didunia Islam telah berjalan
sekian abad, walau dengan sistem dan metologi yang beragam dan modern, namun
ternyata belum berhasil yang telah dilakukan oleh Rasulullah Saw. Yang dimulai
dari nol dan berhasil dengan tegaknya Islam dalam kepribadian umatnya bahkan
dalam sistem pemerintahan dunia yang dikuasai umat Islam itu sendiri. Karena
itu antara dakwah dan Al-Qur’an serta sirah nabawiyah perlu dikonfirmasikan
dalam sebuah kajian menyeluruh dan analisa yang mendalam dalam rangka
aktualisasi Islam sebagai esensi kerja dakwah tersebut.
Dakwah adalah ujung tombak dalam
mewujudakan ajaran Islam ke berbagai segi kehidupan manusia. Melaksanakannya
nerupakan kewajiban bagi setiap muslim,[2]
sesuai dengan keahliannya. Untuk merealisasikannya kepada masyarakat
diselenggarakan dengan mempergunakan metode tertentu.[3]
Dakwah dalam al-Qur’an berarti ajakan
kepada kebaikan, yaitu ajakan kepada agama Islam, membangun masyarakat madani
yang Qur’ani, selalu dalam amar ma’ruf dan nahi munkar. Dakwah merupakan
seperangkat aktifitas yang dilakukan oleh setiap muslim sesuai dengan
kemampuannya, bertujuan menjadikan seluruh umat manusia meyakini dan
mengamalkan ajaran Islam dengan baik dan bertanggung jawab serta diiringi
dengan khlak mulia demi memperoleh kebahagiaan sekarang dan yang akan datang.
Sejarah
telah mencatat ketika Nabi Muhammad Saw. masih di Makkah (610-622 M), ia
melaksanakan dakwah melalui metode pendekatan kepada keluarga secara diam-diam
dalam upaya memberi pelajaran dan petunjuk,[4] kemudian
secara bertahap dikembangkan secara terbuka[5] dengan
mengadakan konfrontasi tanpa menghiraukan penghinaan dan ancaman penentangnya[6]
kalangan kaum kafir Quraish.
Setelah
Nabi Saw. di Madinah (1-11 H = 622-632
M) dakwah telah mampu membunuh kembangkan ikatan persaudaraan, ukhuwah
Islamiyah.[7]
Yang membentuk suatu umat laksana suatu bangunan yang satu dengan yang lainnya
saling menguatkan.[8]
Sehingga menimbulkan kekuatan bagi muslimin dalam pengembangan dakwah. Setelah
adanya perintah jihad dari Allah SWT. untuk melawan kekejaman musyrikin yang
tidak henti-hentinya menentang Nabi, bahkan tambah mengganas setelah musyrikin
bersekongkol dengan umat Yahudi dan Nasrani yang ada di Madinah dan sekitarnya,[9]
menjajah umat Islam, maka kaum muslimin melakukan peperangan untuk membela
kesatuan dan keutuhan umat, nampaknya usaha mereka ternyata berhasil
mengalahkan musyrikin beserta sekutunya.[10]
Dalam hubungan ini Hasan Ibrahim Hasan mengungkapkan bahwa izin jihad diberikan
kepada kaum muslimin adalah dengan maksud membela diri dan melindungi dakwah,[11]
sehingga kekuatan musuh Islam jatuh berantakan dan daerah dakwah semakin
meluas, seperti kemenangan di Badar tahun ke-2 Hijriah,[12]
dan penaklukan Mekkah tahun ke-8 Hijriah.[13]
Pada
periode awal perkembangan Islam, sangat sulit dibedakan dengan persoalan
politik. Sebab dalam sejarah diungkapkan bahwa perkembangan Islam ditandai
dengan pergolakan politik baik politik secara nasional maupun internasional.
Kenyataan ini terlihat setelah Nabi Muhammad wafat, urusan dakwah dilanjutkan
oleh para Khulafa’ al-Rasyidin bersama sahabat lainnya. Seperti Abu Bakar
al-Shiddiq (11-13 H = 632-634 M) dan Umar bin Khattab (12-23 H = 634-644 M)
ternyata berjalan dengan baik dan sukses. Namun setelah itu ketika pemerintahan
‘Ali bin Abi Thalib (36-40 H = 656-661 M) dilanda oleh berbagai kekacauan
politik dalam negeri,[14]
sehingga kesatuan umat sudah terjamin lagi sebagai yang telah dibina Nabi
Muhammad Saw.. sebelumnya.
Kenyataan
tersebut berdampak negatif terhadap kelancaran sepenuhnya kepada perkembangan
dakwah Islam, sebab sebahagian umat tidak percaya sepenuhnya kepada pemerintah
(‘Ali), juga timbulnya perpecahan politik dikalangan umat yang berakibat
munculnya usaha pemalsuan hadits Nabi. Namun setelah pemerintahan Bani Umayyah
terutama masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan (41-60 H = 661-680 M)
gelombang dakwah berjalan kembali.[15]
Kalaupun demikian banyak pihak menilai bahwa dakwah yang dijalankan Mu’awiyah
tidak orisinil, sebab dianggap sudah berbau politik (birokrasi)[16]sampai
kepada beberapa generasi sesudahnya.
Semenjak
abad XII kegiatan filsafat mengalami stagnasi, sekaligus berpengaruh kepada
perkembangan pemikiran dakwah Islam di dunia Islam. Kalaupun muncul para
failosuf, tetapi gaungnya terkesan seolah-olah haram, terutama sejak munculnya
imam al-Ghazali. Sedangkan di dunia syi’ah muncul terus berlanjut seiring
dengan munculnya dinasti Syi’ah Syafawiyah. Sehingga bermunculan failosuf
terkenal seperti : Mir Damad, yang dipandang sebagai guru ketiga setelah
Aristoteles, Al-Farabi. Mula Sadra yang dipandang sebagai tajdid failosuf
rasional.
Pada
abad ke-19 M sebagai akibat terjadinya kontak peradaban dan ilmu pengetahuan
dengan dunia Barat, munculnya kaum pembaharu di dunia Islam dari kalangan sunni
yang berusaha melakukan pembaharuan dengan mengkaji ulang ajaran-ajaran dasar
Islam. Gerakan pembaharuan tersebut berdampak positif dalam kehidupan
pengembangan dakwah. Seperti terlihat, Muhammad Abduh (1849-1905 M), seorang
tokoh pembaharu, di samping ia melakukan dakwah secara lisan mengembangkannya
dengan tulisan lewat majalah al-Urwat al-Wusqa diterbitkan di Paris
bersam Jamal al-Din al-Arganiy (1839-1897 M),[17]
dan Rasyid Ridha (1865-1935 M) di Mesir dengan al-Manarnya.[18]
Pada abad XX bermunculan pula para failosuf dengan kajian kentemporer
seperti ; Ali Syariati dalam bidang ideologoi, Ismail al-Faruqi dalam bidang
teologi, Ziauddin Sardar dalam bidang rekayasa sosial dan sebagainya. Semua
mereka adalah tergolong failosuf muslim yang mengadakan interpretasi /pemikiran
terhadap ajaran Islam dengan masanya. Sejalan dengan kegiatan penyampaian
risalah Nabi Muhammad kepada umat manusia lewat berbagai cara baik lisan,
kontak perbuatan, isyarat dan iqrar maupun dengan diplomasi lewat surat atau
utusan,[19]
mestilah dapat menyesuaikan dengan perkembangan pemikiran modern pula, sehingga
Islam tetap eksis sesuai dengan perkembangan zamannya, bukan statis kembali
kepada masa lalu yang tidak lagi relevan dengan kemajuan modern.
Dakwah
dalam berbagai bentuk kata (shighat)nya terdapat 207 kata yang menggunakan kata
yang akarnya dakwah terlihat beberapa indikasi yang memberikan petunjuk :
a.
Kata
fi’il jauh lebih banyak ketimbang itsim dengan perbandingan 188
banding 26. Hal ini merupakan gambaran kristal yang menunjukan bahwa tema
dakwah arahan Al-Qur’an lebih dominan aspek fi’il dalam artian kerja,
aktifitas, gerakan, perjuangan bahkan jihad. Pemikiran ini dapat dibuktikan
dengan jalan dakwah Rasulullah Saw. sepanjang perjalanan perjuangannya
nebegakkan Islam, mulai dari membangun opini dan mentalitas individu,
pemberdayaan SDM, pengorganisasian potensi dan pembangunan kekuatan kondisi
fisik dan non fisik dan seterusnya hingga Islam itu benar tegak (terintegrasi)
dalam lepribadian umat dan sistem Islam terintegrasi dalam kehidupan umat.
b.
Namun
dari fi’il yang ada fi’il mudhari’ jauh lebih banyak dari fi’il
Madhi dan fi’il Amar dengan perbandingan 128 dengan 33 dan 27.
Apabila kondisi ini dikonfirmasikan dengan besarnya tujuan dakwah dan dengan
implementasinya aktivitas dakwah Rasulullah bahkan seluruh Rasul, maka
dominannya fi’il mudhori’ ini yang bila dilihat dari faedah kebahasaan,
bermakna hal dan istiqbal, mengingatkan bahwa dakwah adalah
aktivitas besar yang memang harus dilaksanakan secara kontinu. Dengan kata lain
dakwah bukanlah kerja musiman dan sambilan. Sebagaiman dalam firman-Nya surah
Nuh, 5-6. “Ia berkata :Ya Allah, saya telah meyeru kaumku siang dan
malam, namun mereka tetap lari dari dakwahku”. Terlihat juga dalam firman-Nya
surah Yusuf ayat 108, “Katakanlah; inilah jalan (dakwah)ku, aku berdakwah
kepada Allah berdasarkan bashirah, yaitu aku dan orang-orang mengikutiku dan
aku tidak termasuk golongan musyrik”
Sebagaiman
tersebut diatas bahwa al-Qur’an adalah sebagai inspirasi dan aspirasi filsafat
dalam al-Qur’an dikenal dengan istilah kata hikmah, karena secara linguistik
term hikmah berarti kebijaksanaan, sehat pikiran, ilmu pengetahuan, filsafat,
kenabian dan keadilan.[20]
Dengan demikian hikmah merupakan pembeda dan garis demakrasi, pembatas yang
dengannya seseorang dapat mengetahui hakikat sesuatu yang mengantarkannya
kepada kebijaksanaan.[21]
Al-Qur’an
al-Karim selalu memotivasi penganutnya agar selalu memacu menuju orang yang
bijak dalam menghadapi dan menyelesaikan kehidupan dunia. Hal ini dapat dilihat
dalam al-Qur’an terulang sebanyak dua puluh kali dalam dua belas surat yaitu :
al-Baqarah : 129, 151, 231, 251, dan 269, Ali Imran 48, 81, 164, al-Nisa’ 54,
113, al-Maidah 110, al-Nahlu 125, Bani Isra’il 39, Luqman 12, al-Ahzab 34, Shad
20, al-Zukhruf 63, al-Qamar 5, dan al-Jumu’ah 2.
Memperhatikan
kata hikmah tersebut di atas Muhammad Abduin menyatakan bahwa hikmah yang ada
dalam al-Qur’an dipahami dengan makna yaitu : hikmah sebagai ilmu sahih dan
ilmu nafi’, [22]
rahasia-rahasia hukum ilahi dan maqasidnya dan Nubuwah.[23]
Sementara Hamka, memahami hikmah dengan ilmu, misalnya ilmu, yang diberikan
oleh Allah kepada Thalut dan kepada Nabi Daud, sehingga dengan ilmunya mereka
bisa menjadi pemimpin umatnya dengan gaya kepemimpinan yang arif dan bijaksana.[24]
Memperhatikan pendapat di atas setidaknya terdapat dua pemahaman yang menonjol,
yaitu pertama hikmah dengan pengertian mufradad berarti kebijakan, ilmu
yang bermanfaat, kedua hikmah dengan pengertian sunah Nabi.
Memperhatikan
kata hikmah dalam al-Qur’an dengan pengertian ilmu dan kebijaksanaan, maka
untuk sampai kepada hal tersebut adalah melalui al-‘aql (akal) yang
sekaligus membedakannya denga makhluk lainnya. Akal kosa kata yang diambilkan
dari bahasa Arab yang telah menjadi bahasa Indonesia, banyak digunakan dalam
al-Qur’an. Secara etimologis kata al-‘Aql adalah masdar dari ‘aqala. Kata ini
setidaknya mempunyai dua arti, pertama mengikat, kedua memahami dan memikirkan
(al-fahm wa al-tadabur), misalnya, ‘aqala al-syai’(memikirkan hakikat
sesuatu).[25]pada
makna kedua inilah kata al-‘aql dipergunakan sebagai akar munculnya berfikir
secara filosofis dan mendalam.
Al-‘Aql
secara terminologis mempunyai arti yang sangat banyak, namun dalam definisi ini
akan diwakili oleh tiga rumusan, yaitu Louiss Maluf, al’aql ialah ; cahaya
ruhani yang dengannya jiwa dapat mengetahui apa yang tidak dapat diketahui oleh
panca indera.[26]
Kedua menurut Imam al-Ashfahany, al’aql ialah ; daya yang dipersiapkan untuk
menerima ilmu.[27]
Ketiga pendapat yang dirangkai oleh Husain Yusuf Musa dan Abdul Fatah
al-Shaidy, al-‘aql ialah ; daya jiwa manusia sebagai alat berfikir untuk
mengetahui dan membuat keputusan-keputusan.[28]
Nampaknya pengertian ketiga mewakili dan lebih lengkap yaitu bahwa al-‘aql bukan
hanya kesanggupan akal mengenal sesuatu, akan lebih jauh dari itu, yaitu dapat
membuat keputusan-keputusan tertentu berdasarkan perolehan dari sesuatu yang
telah dikenal atau diketahui. Pengertian ketiga ini sekaligus telah menjawab
bahwa akal sebagai alat dalam proses mengetahui, berfikir dan bernalar.
Disinilah terbukti bahwa al-Qur’an memotivasi manusia mempergunakan akal dalam
proses mengetahui sesuatu.
Pengulangan
akar kata al’aql sebanyak 49 kali dalam al-Qur’an, menunjukan bahwa al-Qur’an
begitu kuatnya mengajak komunitas manusia untuk mendayagunakan akal seoptimal
mungkin, terutama dalam proses penalaran yang tepat sebagai alat mendapatkan
sesuatu. Terbukti himbauan al-Qur’an relevan dengan penalaran itu sendiri. Pada
prinsip penalaran ilmiah mempunyai empat kategori sebagai berikut :
Pertama : penalaran kausalitas atau hubungan sebab akibat, penalaran ini
dapat dilihat firman-Nya surah Ali Ilmran ayat 118, bahwa Allah melarang
orang-orang mukmin untuk menjadikan orang-orang non mukmin sebagai orang-orang
yang dipercayai (bithanat). Menurut al-Razy, adalah orang-orang yahudi dan
orang-orang munafik dan secara umum semua orang kafir.[29]
Sebab pelarangan tersebut adalah adanya rasa kebencian yang pernah terucap oleh
mereka terhadap orang-orang Islam. Sebagai akibatnya ialah mereka akan
terus-menerus berusaha menyusahkan atau merusak tatanan Islam itu sendiri. Ayat
diatas memberi indikasi yang jelas menyebutkan sebab sekaligus akibat dari
sebab.
Kedua,
penalaran sistesis. Kata al-aql digunakan al-Qur’an tentang degradasi
manusia baik fisik ataupun jiwa. Hal ini terdapat pada surat Yasi ayat 36 dan
68, bahwa manusia tersebut akan mengalami perubahan. Kalau pada mulanya tubuh
manusia itu kuat, pada masa tua ia akan menjadi lemah, jika sebelumnya tahu, ia
akan menjadi bodoh dan kalau selama ini mempunyai ingatan yang kuat, ia akan
menjadi pelupa.[30]
Dalam hal ini al-Qur’an mengajak agar dapat mempergunakan nalar tentang proses
dam keadaan manusia dalam menempuh hidup ini.
Ketiga,
penalaran analitis, misalnya al-Qur’an bertutur dalam surat
al-Mu’minun ayat 67. Ayat ini membicarakan tentang penciptaan manusia yang
dimulai dari tanah, proses pembentukan manusia dalam Rahim, lahir, melalui masa
kanak-kanak, dewasa, tua, kemudian mati. Menurut al-Maraghi bahwa makanan
sebagai bahan yang diperlukan untuk kehidupan manusia berasal dari tanah.
Tumbuh-tumbuhan hidup dari tanah, dimakan oleh binatang, tanaman dan binatang
dimakan oleh manusia, selanjutnya menjadi sel benih, sperma dan ovum nebjadi
‘alaqah (embrio) yang melekat dinding Rahim, sehingga akhirnya melahirkan
manusia.[31]
Ayat diatas jelas membawa manusia berfikir tentang proses penciptaan tersebut,
yaitu dengan meneliti informasi ayat secara ilmiah, misalnya kata min turab,
nutfah, ‘alaqah, ajal musamma, dan sebagainya dijabarkan menurut kaidah dan
prinsip ilmu pengetahuan.
Keempat
penalaran figuratif, yaitu penalaran melalui perumpamaan. Hal di
ungkapkan oleh Allah surat al-Baqarah ayat 171. Di mana ayat tersebut membangun
suatu perumpamaan, bahwa orang-orang kafir yang disebut sebagai orang-orang
tuli, bisu dan buta karena tidak mau memperhatikan dan memikirkan kebenaran
yang disampaikan kepada mereka, diumpamakan dengan binatang ternak yang
dipanggil oleh pengembalanya. Binatang itu mendengar panggilan tersebut, namun
tidak memahami maknanya yang pasti. Ditinjau dari kaca mata ‘kita yang membaca’
perumpamaan itu, maka penalaran yang diungkap oleh ayat itu adalah
analogis-figuratif.
Pendayagunaan
al-‘aql berdasarkan uraian di atas, ada implikasi yang hendak dicapai sebagai
targetseruan al-Qur’an. Beberapa point pentingnya dapat disebut dibawah ini :
1.
Al-Qur’an
menargetkan dalam seruannya untuk mempergunakan akal (al-aql) secara optimal,
dengan alas an karena akal (al-aql) merupakan bagian penting dari manusia, yang
dengannya mereka dapat mengetahui dan mengambil keputusan. Bahkan al-Qur’an
juga mengecam dengan keras (ancaman kehinaan dan kemurkaan Tuhan) terhadap
orang –orang yang tidak memfungsikan akalnya, seperti yang diungkapkan oleh
Allah dalam surah Yunus ayat 100.
Menurut
ayat diatas, berdasarkan penafsiran Rasyid Ridha, bahwa seeorang yang akan
beriman kecuali bila sesuai dengan kehendak Allah yang telah digariskan, oleh Sunahnya yaitu dengan berpikir,
memikirkan ayat-ayat-Nya, baik ayat-ayat kitab-Nya atau ayat-ayat yang terdapat
pada makhluk-Nya. Jika tidak, maka amat fatal resikonya bagi keimanan seseorang
terutama bagi orang-orang yang tidak mempergunakan akal mereka.
2.
Pemakaian
kata al-‘aql secara keseluruhan ditargetkan oleh al-Qur’an adalah mengacu pada
perannya untuk mencegah manusia dari perbuatan destruktif terhadap dirinya,
karena itu al-Qur’an menyerukan untuk memfungsikan akal kepada hal-hal yang
bermanfaat, terpuji dan benar. Disamping itu al-Qur’an juga menunjukan tentang
penggunaan akal secara tidak terpuji seperti yang dilakukan oleh kaum Yahudi.
[1] M. Quraish
Shihab, Membumikan al-Qur’an, Mizan, Bandung, 1995, h. 193
[2] Muhammad Abu
Zahrah, al-Da’wat ila al-Islam, Dâr al-Fikr al- ‘Arabiy, ttp., tt., h.
33-4dan 129
[3] Amrullah
Ahmad, (Ed), dakwah Islam dan Perubahan Sosial, Prima Duta, Yogyakarta,
1983, h. 2; M. Syafa’at Habib, Buku Pedoman Dakwah, Wijaya,
Jakarta, 1982, h. 54; dan Abu Zahrah, op.cit., h. 125.
[4] QS. Al-Syu’ara’,
26: 214-216. Amin Sa’d, Nasy’at Al-Daulah Al-Islamiyyah, ‘Isa Al-Babi
Al-Halabi, Kairo, tt., hal. 5-7.
[5] QS. Al-Hijr,
15: 94; dan juga Arnold, op. cit., hal. 37-38.
[6] Ibid.,
(Arnold), hal. 37-41.
[7] QS. Al-hujurat
(49/106); 10. Sebagai langkah pertama, Nabi mempersauDârakan kaum Anshar dan
Muhajirin yang berbeda suku dan adat istiadat, yang menurunkan ukuran
masa itu sangat sulit untuk dipersatukan.
[8] Abi ‘Abd.
Allah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim ibn.al-Mughirah bin Bardazbah
al-Bukhariy, shahih al-Bukhariy, diterbitkan kembali oleh ‘Abd.
Al-Rahman Afandi Muhammad, al-Mathba’aat al-Bahiyyat, Mesir, 1349 H. juz II, h.
42.
[9] QS. Al-Baqarah
(02/87): 190; al-anfal (08/88): 60 dan 65; al-Hajj (22/103):
39-40; dan al-Shaff (61/109): 4. Izin jihad (perang) dijalan Allah resmi
diberikan Nabi tanggal 12 Safar tahun ke-2 Hijriah. Lihat, Muhammad Ridha, Muhammad
Rasul Allah SAW. Dar al-Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyat, ‘Isa al-Babi
al-Halabiy, Kairo, tt, h. 156-7.
[10] Arnold,
op.cit., h. 41-2; dan Hasjmy, op.cit, h. 86 dst.
[11] Ibrahim Hasan,
“Tarikh…”, op.cit., h. 86 dst.
[12] Perang Badar
terjadi antara lain untuk menghalangi monopoli dagang kaum Quraisy. Hasan
Ibrahim Hasan, Islamic Histoty and Culture, From 632-1968, terjemahan
Djahdan Humam dengan judul Sejarah dan Kebudayaan Islam, Kota Kembang,
Yogyakarta, 1989, h. 30.
[13] Arnold,
op.cit., h. 43; Ibrahim Hasan,
“Tarikh…”, op.cit., h. 90-118; Muhammad Ridha, op.cit., h. 157 dst.;
serta Amin Sa’d, op.cit., h. 42 dst.
[14] Ibrahim
Hasan, “Islamic…”, op.cit., 57-8 dan
62-3; dan ‘Ali Musthafa al-Ghurabiy, Tarikh al-Firaq al-Islamiyat, Maktabat
wa Mathba’at Muhammad ‘Ali Shubaih wa Auladuh, Mesir, tt., h. 17-9.
[15] Subhi
al-Shalih, ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuh, Dar al-Ilm li al-Malayin,
Beirut, 1977, h. 24-31; Mustahafa al-Siba’iy, al-Sunnat wa Makanatuha fi
al-Tasyri’ al-Islami, ttp. Dar al-Qaumiyat, 1966, h. 138
[16]
Ibrahim Hasan, “Islamic…”, op.cit,, h.
66.
[17]
Muhammad Jalal
Syarf dan ‘Ali ‘Abd. Al-Mu’thi Muhammad, al-Fikr al-Siyasi fi al-Islam,
Syakhshiyyat waMazahib, Dar al-Jami’at al-Mishriyyat, Mesir, 1978, h.
127-8.
[18]
Al-manar,
dikenal sebagai majalah, juga Tafsir al-Manar, karya Rasyid Ridha,
memuat pemikiran dan ide-ide Muhammad ‘Abduh dalam menafsirkan al-Qur’an. Walaupun
pemikiran ‘Abduh dalam Tafsir al-Manar itu hanya sampai pada ayat 125. Al-Nisa.
[19]
Habib, op.cit., h. 17-9.
[20]
Ahmad Warson
Munawir, kamus al-Munawir Arab Indonesia, Pondok Pesantren, Yogyakarta,
1984, h. 309.
[21]
Sa’id ibn Ali
Ibn Wakaf al-Qanthani, al-Hikmah fi al-Dawla ila Allah Ta’ala, Mu’assasat, Lebanon,
Beirut, tt, H. 23-25.
[22]
Muhammad Abduh
–Ridha, al-Manar, juz. III. H. 75 dan 310
[23]
Abduh-Ridha, al-Manar,
juz II. H. 29,398 ; Jilid IV, 223 dan Jilid V, h. 402.
[24]
Hamka, Tafsir
al-Azhar, Juz. II h. 410, juz V, h.202
[25]
Bathrus
al-Bustaniy, Qathar al-Muhith I,
Maktabath Libanon, Beirut, tt. H. 1411
[26] Louis Ma’luf ,
al-Munjid, Penerbit Katolik, Beirut, 1952. H. 544
[27] Abu Qasim
al-Hussein bin Muhammad al-Astafahaniy, al- Mu’jam fi Gharib al-Qur’an,
Musthafa al-Babi al-Halabi, Mesir, 1961, h. 341
[28] Husein Yusuf
Mussa dan Abdul al-Fattah al-Shai’dy, al-Ifshah fi al-Lughat, Dar
al-Fikr, Kairo, tt. H. 140
[29]
Al-Razy, Tafsir
al-kabir III, Dar al-Fikr, Beirut, 1978, h. 36
[30]
Muhammad Husein
al-Thaba Thabai, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an CVII, Dar al-Kutub
Islamiyah, Teheran, 1397, h.112
[31]
Ahmad Musthafa
al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi XVI, Musthafa al-Babi al-Halabiy, Mesir,
1972, h. 88