Kamis, 24 Desember 2015

Al-Qur'an sebagai sumber Inspirasi Filsafat Dakwah



AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER INSPIRASI FILSAFAT DAKWAH

        Al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam tersusun sedemikian rupa, menjadi petunjuk dalam menjalani rentang waktu kehidupannya. Kandungan Al-Qur’an tidak terbatas pada ajaran nilai, hukum, sejarah dan berbagai ilmu pengetahuan saja, tapi juga mengandung unsur metodologi berbagai ilmu pengetahuan, bahkan susunan kata, kata yang terpilih dalam bahasa arab, susunan kalimat, hubungan masalah yang dibicarakan, semuat syarat dengan informasi, ilmu dan metodologi.
        Al-Qur’an adalah kitab dakwah[1] yang mencakup didalamnya unsur-unsur yang mengintari dakwah, sasaran dakwah dan media dakwah. Dakwah dengan segala urusannya adalah suatu kesatuan yang tak terpisahkan satu sama lain, masing-masing unsur dalam dakwah mendapat perhatian dan sorotan dalam al-Qur’an secara sistematis dan sesuai dengan kondisi sosial masyarakat yang mengintarinya. Paparan dan petunjuk al-Qur’an tentang kegiatan dakwah tersebut telah dilaksanakan dan dipraktekan oleh Rasulullah Saw.
        Al-Qur’an dari muatan metodologi telah banyak ditulis di berbagai buku, majalah, Koran dan berbagai seminar secara internasional. Telah banyak pakar dan ilmuan muslim, setelah penelitian yang mendalam, menyusun buku dalam masalah ini, seperti Amin Abd Aziz dengan bukunya Manhaj Al-Qur’an fi ‘Ardh ‘Aqidah Al-Qur’an al-Islam (1992). Mendakwahkan Al-Qur’an adalah selain tugas Rasulullah, yang kemudian diwariskan kepada para ulama sebagai generasi sesudahnya, juga tidak lepas dari sistem dan metologi.
        Dakwah didunia Islam telah berjalan sekian abad, walau dengan sistem dan metologi yang beragam dan modern, namun ternyata belum berhasil yang telah dilakukan oleh Rasulullah Saw. Yang dimulai dari nol dan berhasil dengan tegaknya Islam dalam kepribadian umatnya bahkan dalam sistem pemerintahan dunia yang dikuasai umat Islam itu sendiri. Karena itu antara dakwah dan Al-Qur’an serta sirah nabawiyah perlu dikonfirmasikan dalam sebuah kajian menyeluruh dan analisa yang mendalam dalam rangka aktualisasi Islam sebagai esensi kerja dakwah tersebut.
        Dakwah adalah ujung tombak dalam mewujudakan ajaran Islam ke berbagai segi kehidupan manusia. Melaksanakannya nerupakan kewajiban bagi setiap muslim,[2] sesuai dengan keahliannya. Untuk merealisasikannya kepada masyarakat diselenggarakan dengan mempergunakan metode tertentu.[3]
        Dakwah dalam al-Qur’an berarti ajakan kepada kebaikan, yaitu ajakan kepada agama Islam, membangun masyarakat madani yang Qur’ani, selalu dalam amar ma’ruf dan nahi munkar. Dakwah merupakan seperangkat aktifitas yang dilakukan oleh setiap muslim sesuai dengan kemampuannya, bertujuan menjadikan seluruh umat manusia meyakini dan mengamalkan ajaran Islam dengan baik dan bertanggung jawab serta diiringi dengan khlak mulia demi memperoleh kebahagiaan sekarang dan yang akan datang.
Sejarah telah mencatat ketika Nabi Muhammad Saw. masih di Makkah (610-622 M), ia melaksanakan dakwah melalui metode pendekatan kepada keluarga secara diam-diam dalam upaya memberi pelajaran dan petunjuk,[4] kemudian secara bertahap dikembangkan secara terbuka[5] dengan mengadakan konfrontasi tanpa menghiraukan penghinaan dan ancaman penentangnya[6] kalangan kaum kafir Quraish.
Setelah Nabi Saw. di Madinah (1-11 H = 622-632  M) dakwah telah mampu membunuh kembangkan ikatan persaudaraan, ukhuwah Islamiyah.[7] Yang membentuk suatu umat laksana suatu bangunan yang satu dengan yang lainnya saling menguatkan.[8] Sehingga menimbulkan kekuatan bagi muslimin dalam pengembangan dakwah. Setelah adanya perintah jihad dari Allah SWT. untuk melawan kekejaman musyrikin yang tidak henti-hentinya menentang Nabi, bahkan tambah mengganas setelah musyrikin bersekongkol dengan umat Yahudi dan Nasrani yang ada di Madinah dan sekitarnya,[9] menjajah umat Islam, maka kaum muslimin melakukan peperangan untuk membela kesatuan dan keutuhan umat, nampaknya usaha mereka ternyata berhasil mengalahkan musyrikin beserta sekutunya.[10] Dalam hubungan ini Hasan Ibrahim Hasan mengungkapkan bahwa izin jihad diberikan kepada kaum muslimin adalah dengan maksud membela diri dan melindungi dakwah,[11] sehingga kekuatan musuh Islam jatuh berantakan dan daerah dakwah semakin meluas, seperti kemenangan di Badar tahun ke-2 Hijriah,[12] dan penaklukan Mekkah tahun ke-8 Hijriah.[13]
Pada periode awal perkembangan Islam, sangat sulit dibedakan dengan persoalan politik. Sebab dalam sejarah diungkapkan bahwa perkembangan Islam ditandai dengan pergolakan politik baik politik secara nasional maupun internasional. Kenyataan ini terlihat setelah Nabi Muhammad wafat, urusan dakwah dilanjutkan oleh para Khulafa’ al-Rasyidin bersama sahabat lainnya. Seperti Abu Bakar al-Shiddiq (11-13 H = 632-634 M) dan Umar bin Khattab (12-23 H = 634-644 M) ternyata berjalan dengan baik dan sukses. Namun setelah itu ketika pemerintahan ‘Ali bin Abi Thalib (36-40 H = 656-661 M) dilanda oleh berbagai kekacauan politik dalam negeri,[14] sehingga kesatuan umat sudah terjamin lagi sebagai yang telah dibina Nabi Muhammad Saw.. sebelumnya.
Kenyataan tersebut berdampak negatif terhadap kelancaran sepenuhnya kepada perkembangan dakwah Islam, sebab sebahagian umat tidak percaya sepenuhnya kepada pemerintah (‘Ali), juga timbulnya perpecahan politik dikalangan umat yang berakibat munculnya usaha pemalsuan hadits Nabi. Namun setelah pemerintahan Bani Umayyah terutama masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan (41-60 H = 661-680 M) gelombang dakwah berjalan kembali.[15] Kalaupun demikian banyak pihak menilai bahwa dakwah yang dijalankan Mu’awiyah tidak orisinil, sebab dianggap sudah berbau politik (birokrasi)[16]sampai kepada beberapa generasi sesudahnya.
Semenjak abad XII kegiatan filsafat mengalami stagnasi, sekaligus berpengaruh kepada perkembangan pemikiran dakwah Islam di dunia Islam. Kalaupun muncul para failosuf, tetapi gaungnya terkesan seolah-olah haram, terutama sejak munculnya imam al-Ghazali. Sedangkan di dunia syi’ah muncul terus berlanjut seiring dengan munculnya dinasti Syi’ah Syafawiyah. Sehingga bermunculan failosuf terkenal seperti : Mir Damad, yang dipandang sebagai guru ketiga setelah Aristoteles, Al-Farabi. Mula Sadra yang dipandang sebagai tajdid failosuf rasional.
Pada abad ke-19 M sebagai akibat terjadinya kontak peradaban dan ilmu pengetahuan dengan dunia Barat, munculnya kaum pembaharu di dunia Islam dari kalangan sunni yang berusaha melakukan pembaharuan dengan mengkaji ulang ajaran-ajaran dasar Islam. Gerakan pembaharuan tersebut berdampak positif dalam kehidupan pengembangan dakwah. Seperti terlihat, Muhammad Abduh (1849-1905 M), seorang tokoh pembaharu, di samping ia melakukan dakwah secara lisan mengembangkannya dengan tulisan lewat majalah al-Urwat al-Wusqa diterbitkan di Paris bersam Jamal al-Din al-Arganiy (1839-1897 M),[17] dan Rasyid Ridha (1865-1935 M) di Mesir dengan al-Manarnya.[18] Pada abad XX bermunculan pula para failosuf dengan kajian kentemporer seperti ; Ali Syariati dalam bidang ideologoi, Ismail al-Faruqi dalam bidang teologi, Ziauddin Sardar dalam bidang rekayasa sosial dan sebagainya. Semua mereka adalah tergolong failosuf muslim yang mengadakan interpretasi /pemikiran terhadap ajaran Islam dengan masanya. Sejalan dengan kegiatan penyampaian risalah Nabi Muhammad kepada umat manusia lewat berbagai cara baik lisan, kontak perbuatan, isyarat dan iqrar maupun dengan diplomasi lewat surat atau utusan,[19] mestilah dapat menyesuaikan dengan perkembangan pemikiran modern pula, sehingga Islam tetap eksis sesuai dengan perkembangan zamannya, bukan statis kembali kepada masa lalu yang tidak lagi relevan dengan kemajuan modern.
Dakwah dalam berbagai bentuk kata (shighat)nya terdapat 207 kata yang menggunakan kata yang akarnya dakwah terlihat beberapa indikasi yang memberikan petunjuk :
a.      Kata fi’il jauh lebih banyak ketimbang itsim dengan perbandingan 188 banding 26. Hal ini merupakan gambaran kristal yang menunjukan bahwa tema dakwah arahan Al-Qur’an lebih dominan aspek fi’il dalam artian kerja, aktifitas, gerakan, perjuangan bahkan jihad. Pemikiran ini dapat dibuktikan dengan jalan dakwah Rasulullah Saw. sepanjang perjalanan perjuangannya nebegakkan Islam, mulai dari membangun opini dan mentalitas individu, pemberdayaan SDM, pengorganisasian potensi dan pembangunan kekuatan kondisi fisik dan non fisik dan seterusnya hingga Islam itu benar tegak (terintegrasi) dalam lepribadian umat dan sistem Islam terintegrasi dalam kehidupan umat.
b.      Namun dari fi’il yang ada fi’il mudhari’ jauh lebih banyak dari fi’il Madhi dan fi’il Amar dengan perbandingan 128 dengan 33 dan 27. Apabila kondisi ini dikonfirmasikan dengan besarnya tujuan dakwah dan dengan implementasinya aktivitas dakwah Rasulullah bahkan seluruh Rasul, maka dominannya fi’il mudhori’ ini yang bila dilihat dari faedah kebahasaan, bermakna hal dan istiqbal, mengingatkan bahwa dakwah adalah aktivitas besar yang memang harus dilaksanakan secara kontinu. Dengan kata lain dakwah bukanlah kerja musiman dan sambilan. Sebagaiman dalam firman-Nya surah Nuh, 5-6. “Ia berkata :Ya Allah, saya telah meyeru kaumku siang dan malam, namun mereka tetap lari dari dakwahku”. Terlihat juga dalam firman-Nya surah Yusuf ayat 108, “Katakanlah; inilah jalan (dakwah)ku, aku berdakwah kepada Allah berdasarkan bashirah, yaitu aku dan orang-orang mengikutiku dan aku tidak termasuk golongan musyrik”
Sebagaiman tersebut diatas bahwa al-Qur’an adalah sebagai inspirasi dan aspirasi filsafat dalam al-Qur’an dikenal dengan istilah kata hikmah, karena secara linguistik term hikmah berarti kebijaksanaan, sehat pikiran, ilmu pengetahuan, filsafat, kenabian dan keadilan.[20] Dengan demikian hikmah merupakan pembeda dan garis demakrasi, pembatas yang dengannya seseorang dapat mengetahui hakikat sesuatu yang mengantarkannya kepada kebijaksanaan.[21]
Al-Qur’an al-Karim selalu memotivasi penganutnya agar selalu memacu menuju orang yang bijak dalam menghadapi dan menyelesaikan kehidupan dunia. Hal ini dapat dilihat dalam al-Qur’an terulang sebanyak dua puluh kali dalam dua belas surat yaitu : al-Baqarah : 129, 151, 231, 251, dan 269, Ali Imran 48, 81, 164, al-Nisa’ 54, 113, al-Maidah 110, al-Nahlu 125, Bani Isra’il 39, Luqman 12, al-Ahzab 34, Shad 20, al-Zukhruf 63, al-Qamar 5, dan al-Jumu’ah 2.
Memperhatikan kata hikmah tersebut di atas Muhammad Abduin menyatakan bahwa hikmah yang ada dalam al-Qur’an dipahami dengan makna yaitu : hikmah sebagai ilmu sahih dan ilmu nafi’, [22] rahasia-rahasia hukum ilahi dan maqasidnya dan Nubuwah.[23] Sementara Hamka, memahami hikmah dengan ilmu, misalnya ilmu, yang diberikan oleh Allah kepada Thalut dan kepada Nabi Daud, sehingga dengan ilmunya mereka bisa menjadi pemimpin umatnya dengan gaya kepemimpinan yang arif dan bijaksana.[24] Memperhatikan pendapat di atas setidaknya terdapat dua pemahaman yang menonjol, yaitu pertama hikmah dengan pengertian mufradad berarti kebijakan, ilmu yang bermanfaat, kedua hikmah dengan pengertian sunah Nabi.
Memperhatikan kata hikmah dalam al-Qur’an dengan pengertian ilmu dan kebijaksanaan, maka untuk sampai kepada hal tersebut adalah melalui al-‘aql (akal) yang sekaligus membedakannya denga makhluk lainnya. Akal kosa kata yang diambilkan dari bahasa Arab yang telah menjadi bahasa Indonesia, banyak digunakan dalam al-Qur’an. Secara etimologis kata al-‘Aql adalah masdar dari ‘aqala. Kata ini setidaknya mempunyai dua arti, pertama mengikat, kedua memahami dan memikirkan (al-fahm wa al-tadabur), misalnya, ‘aqala al-syai’(memikirkan hakikat sesuatu).[25]pada makna kedua inilah kata al-‘aql dipergunakan sebagai akar munculnya berfikir secara filosofis dan mendalam.
Al-‘Aql secara terminologis mempunyai arti yang sangat banyak, namun dalam definisi ini akan diwakili oleh tiga rumusan, yaitu Louiss Maluf, al’aql ialah ; cahaya ruhani yang dengannya jiwa dapat mengetahui apa yang tidak dapat diketahui oleh panca indera.[26] Kedua menurut Imam al-Ashfahany, al’aql ialah ; daya yang dipersiapkan untuk menerima ilmu.[27] Ketiga pendapat yang dirangkai oleh Husain Yusuf Musa dan Abdul Fatah al-Shaidy, al-‘aql ialah ; daya jiwa manusia sebagai alat berfikir untuk mengetahui dan membuat keputusan-keputusan.[28] Nampaknya pengertian ketiga mewakili dan lebih lengkap yaitu bahwa al-‘aql bukan hanya kesanggupan akal mengenal sesuatu, akan lebih jauh dari itu, yaitu dapat membuat keputusan-keputusan tertentu berdasarkan perolehan dari sesuatu yang telah dikenal atau diketahui. Pengertian ketiga ini sekaligus telah menjawab bahwa akal sebagai alat dalam proses mengetahui, berfikir dan bernalar. Disinilah terbukti bahwa al-Qur’an memotivasi manusia mempergunakan akal dalam proses mengetahui sesuatu.
Pengulangan akar kata al’aql sebanyak 49 kali dalam al-Qur’an, menunjukan bahwa al-Qur’an begitu kuatnya mengajak komunitas manusia untuk mendayagunakan akal seoptimal mungkin, terutama dalam proses penalaran yang tepat sebagai alat mendapatkan sesuatu. Terbukti himbauan al-Qur’an relevan dengan penalaran itu sendiri. Pada prinsip penalaran ilmiah mempunyai empat kategori sebagai berikut :
Pertama : penalaran kausalitas atau hubungan sebab akibat, penalaran ini dapat dilihat firman-Nya surah Ali Ilmran ayat 118, bahwa Allah melarang orang-orang mukmin untuk menjadikan orang-orang non mukmin sebagai orang-orang yang dipercayai (bithanat). Menurut al-Razy, adalah orang-orang yahudi dan orang-orang munafik dan secara umum semua orang kafir.[29] Sebab pelarangan tersebut adalah adanya rasa kebencian yang pernah terucap oleh mereka terhadap orang-orang Islam. Sebagai akibatnya ialah mereka akan terus-menerus berusaha menyusahkan atau merusak tatanan Islam itu sendiri. Ayat diatas memberi indikasi yang jelas menyebutkan sebab sekaligus akibat dari sebab.
Kedua, penalaran sistesis. Kata al-aql digunakan al-Qur’an tentang degradasi manusia baik fisik ataupun jiwa. Hal ini terdapat pada surat Yasi ayat 36 dan 68, bahwa manusia tersebut akan mengalami perubahan. Kalau pada mulanya tubuh manusia itu kuat, pada masa tua ia akan menjadi lemah, jika sebelumnya tahu, ia akan menjadi bodoh dan kalau selama ini mempunyai ingatan yang kuat, ia akan menjadi pelupa.[30] Dalam hal ini al-Qur’an mengajak agar dapat mempergunakan nalar tentang proses dam keadaan manusia dalam menempuh hidup ini.
Ketiga, penalaran analitis, misalnya al-Qur’an bertutur dalam surat al-Mu’minun ayat 67. Ayat ini membicarakan tentang penciptaan manusia yang dimulai dari tanah, proses pembentukan manusia dalam Rahim, lahir, melalui masa kanak-kanak, dewasa, tua, kemudian mati. Menurut al-Maraghi bahwa makanan sebagai bahan yang diperlukan untuk kehidupan manusia berasal dari tanah. Tumbuh-tumbuhan hidup dari tanah, dimakan oleh binatang, tanaman dan binatang dimakan oleh manusia, selanjutnya menjadi sel benih, sperma dan ovum nebjadi ‘alaqah (embrio) yang melekat dinding Rahim, sehingga akhirnya melahirkan manusia.[31] Ayat diatas jelas membawa manusia berfikir tentang proses penciptaan tersebut, yaitu dengan meneliti informasi ayat secara ilmiah, misalnya kata min turab, nutfah, ‘alaqah, ajal musamma, dan sebagainya dijabarkan menurut kaidah dan prinsip ilmu pengetahuan.
Keempat penalaran figuratif, yaitu penalaran melalui perumpamaan. Hal di ungkapkan oleh Allah surat al-Baqarah ayat 171. Di mana ayat tersebut membangun suatu perumpamaan, bahwa orang-orang kafir yang disebut sebagai orang-orang tuli, bisu dan buta karena tidak mau memperhatikan dan memikirkan kebenaran yang disampaikan kepada mereka, diumpamakan dengan binatang ternak yang dipanggil oleh pengembalanya. Binatang itu mendengar panggilan tersebut, namun tidak memahami maknanya yang pasti. Ditinjau dari kaca mata ‘kita yang membaca’ perumpamaan itu, maka penalaran yang diungkap oleh ayat itu adalah analogis-figuratif.
Pendayagunaan al-‘aql berdasarkan uraian di atas, ada implikasi yang hendak dicapai sebagai targetseruan al-Qur’an. Beberapa point pentingnya dapat disebut dibawah ini :
1.      Al-Qur’an menargetkan dalam seruannya untuk mempergunakan akal (al-aql) secara optimal, dengan alas an karena akal (al-aql) merupakan bagian penting dari manusia, yang dengannya mereka dapat mengetahui dan mengambil keputusan. Bahkan al-Qur’an juga mengecam dengan keras (ancaman kehinaan dan kemurkaan Tuhan) terhadap orang –orang yang tidak memfungsikan akalnya, seperti yang diungkapkan oleh Allah dalam surah Yunus ayat 100.
Menurut ayat diatas, berdasarkan penafsiran Rasyid Ridha, bahwa seeorang yang akan beriman kecuali bila sesuai dengan kehendak Allah yang telah digariskan,  oleh Sunahnya yaitu dengan berpikir, memikirkan ayat-ayat-Nya, baik ayat-ayat kitab-Nya atau ayat-ayat yang terdapat pada makhluk-Nya. Jika tidak, maka amat fatal resikonya bagi keimanan seseorang terutama bagi orang-orang yang tidak mempergunakan akal mereka.
2.      Pemakaian kata al-‘aql secara keseluruhan ditargetkan oleh al-Qur’an adalah mengacu pada perannya untuk mencegah manusia dari perbuatan destruktif terhadap dirinya, karena itu al-Qur’an menyerukan untuk memfungsikan akal kepada hal-hal yang bermanfaat, terpuji dan benar. Disamping itu al-Qur’an juga menunjukan tentang penggunaan akal secara tidak terpuji seperti yang dilakukan oleh kaum Yahudi.


[1] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Mizan, Bandung, 1995, h. 193
[2] Muhammad Abu Zahrah, al-Da’wat ila al-Islam, Dâr al-Fikr al- ‘Arabiy, ttp., tt., h. 33-4dan 129
[3] Amrullah Ahmad, (Ed), dakwah Islam dan Perubahan Sosial, Prima Duta, Yogyakarta, 1983, h. 2; M. Syafa’at Habib, Buku Pedoman Dakwah, Wijaya, Jakarta, 1982, h. 54; dan Abu Zahrah, op.cit., h. 125.
[4] QS. Al-Syu’ara’, 26: 214-216. Amin Sa’d, Nasy’at Al-Daulah Al-Islamiyyah, ‘Isa Al-Babi Al-Halabi, Kairo, tt., hal. 5-7.
[5] QS. Al-Hijr, 15: 94; dan juga Arnold, op. cit., hal. 37-38.
[6] Ibid., (Arnold), hal. 37-41.
[7] QS. Al-hujurat (49/106); 10. Sebagai langkah pertama, Nabi mempersauDârakan kaum Anshar dan Muhajirin yang berbeda suku dan adat istiadat, yang menurunkan ukuran masa itu sangat sulit untuk dipersatukan.
[8] Abi ‘Abd. Allah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim ibn.al-Mughirah bin Bardazbah al-Bukhariy, shahih al-Bukhariy, diterbitkan kembali oleh ‘Abd. Al-Rahman Afandi Muhammad, al-Mathba’aat al-Bahiyyat, Mesir, 1349 H. juz II, h. 42.
[9] QS. Al-Baqarah (02/87): 190; al-anfal (08/88): 60 dan 65; al-Hajj (22/103): 39-40; dan al-Shaff (61/109): 4. Izin jihad (perang) dijalan Allah resmi diberikan Nabi tanggal 12 Safar tahun ke-2 Hijriah. Lihat, Muhammad Ridha, Muhammad Rasul Allah SAW. Dar al-Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyat, ‘Isa al-Babi al-Halabiy, Kairo, tt, h. 156-7.
[10] Arnold, op.cit., h. 41-2; dan Hasjmy, op.cit, h. 86 dst.
[11] Ibrahim Hasan, “Tarikh…”, op.cit., h. 86 dst.
[12] Perang Badar terjadi antara lain untuk menghalangi monopoli dagang kaum Quraisy. Hasan Ibrahim Hasan, Islamic Histoty and Culture, From 632-1968, terjemahan Djahdan Humam dengan judul Sejarah dan Kebudayaan Islam, Kota Kembang, Yogyakarta, 1989, h. 30.
[13] Arnold, op.cit., h. 43; Ibrahim Hasan,  “Tarikh…”, op.cit., h. 90-118; Muhammad Ridha, op.cit., h. 157 dst.; serta Amin Sa’d, op.cit., h. 42 dst.
[14] Ibrahim Hasan,  “Islamic…”, op.cit., 57-8 dan 62-3; dan ‘Ali Musthafa al-Ghurabiy, Tarikh al-Firaq al-Islamiyat, Maktabat wa Mathba’at Muhammad ‘Ali Shubaih wa Auladuh, Mesir, tt., h. 17-9.
[15] Subhi al-Shalih, ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuh, Dar al-Ilm li al-Malayin, Beirut, 1977, h. 24-31; Mustahafa al-Siba’iy, al-Sunnat wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami, ttp. Dar al-Qaumiyat, 1966, h. 138
[16] Ibrahim Hasan,  “Islamic…”, op.cit,, h. 66.
[17] Muhammad Jalal Syarf dan ‘Ali ‘Abd. Al-Mu’thi Muhammad, al-Fikr al-Siyasi fi al-Islam, Syakhshiyyat waMazahib, Dar al-Jami’at al-Mishriyyat, Mesir, 1978, h. 127-8.
[18] Al-manar, dikenal sebagai majalah, juga Tafsir al-Manar, karya Rasyid Ridha, memuat pemikiran dan ide-ide Muhammad ‘Abduh dalam menafsirkan al-Qur’an. Walaupun pemikiran ‘Abduh dalam Tafsir al-Manar itu hanya sampai pada ayat 125. Al-Nisa.
[19] Habib, op.cit., h. 17-9.
[20] Ahmad Warson Munawir, kamus al-Munawir Arab Indonesia, Pondok Pesantren, Yogyakarta, 1984, h. 309.
[21] Sa’id ibn Ali Ibn Wakaf al-Qanthani, al-Hikmah fi al-Dawla ila Allah Ta’ala, Mu’assasat, Lebanon, Beirut, tt, H. 23-25.
[22] Muhammad Abduh –Ridha, al-Manar, juz. III. H. 75 dan 310
[23] Abduh-Ridha, al-Manar, juz II. H. 29,398 ; Jilid IV, 223 dan Jilid V, h. 402.
[24] Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz. II h. 410, juz V, h.202
[25] Bathrus al-Bustaniy, Qathar al-Muhith  I, Maktabath Libanon, Beirut, tt. H. 1411
[26] Louis Ma’luf , al-Munjid, Penerbit Katolik, Beirut, 1952. H. 544
[27] Abu Qasim al-Hussein bin Muhammad al-Astafahaniy, al- Mu’jam fi Gharib al-Qur’an, Musthafa al-Babi al-Halabi, Mesir, 1961, h. 341
[28] Husein Yusuf Mussa dan Abdul al-Fattah al-Shai’dy, al-Ifshah fi al-Lughat, Dar al-Fikr, Kairo, tt. H. 140
[29] Al-Razy, Tafsir al-kabir III, Dar al-Fikr, Beirut, 1978, h. 36
[30] Muhammad Husein al-Thaba Thabai, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an CVII, Dar al-Kutub Islamiyah, Teheran, 1397, h.112
[31] Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi XVI, Musthafa al-Babi al-Halabiy, Mesir, 1972, h. 88

2 komentar:

  1. Coin Casino: 200% Welcome Bonus up to $1000 + 100 FS
    Coin Casino - the first real-money bitcoin casino to bring you a safe and rewarding 바카라 사이트 experience. 인카지노 Sign up and receive up and play 제왕 카지노 in-game bitcoin with the biggest

    BalasHapus
  2. Lucky Club: Luckyclub Online Casino site
    Lucky Club has developed a great reputation for its fantastic loyalty scheme. This is one of the most comprehensive and popular 🏆 LuckyClub: Luckyclub Casino: LuckyClub Casino: LuckyClub Casino📱 Mobile: Android, iPhone Rating: 4.5 luckyclub · ‎Review by LuckyClub.me

    BalasHapus